Sunda Dan Lalap
A. Pendahuluan.
Ada
anekdot yang mengatakan bahwa hidup sebagai orang Sunda itu mudah : mereka
bahkan bisa makan rumput. Anekdot itu tentu merujuk kebiasaan orang-orang Sunda
melahap lalapan. Dari manakah asal - usul kebiasaan tersebut ?. Jika Anda
kebetulan sedang berada di daerah Jawa Barat, pasti Anda menemukan banyak
tempat makan yang menawarkan makanan khas Sunda. Biasanya rumah makan Sunda
identik dengan sambal dan lalapan. Beberapa sajian lain seperti pepes hingga
berbagai makanan yang dibakar juga jamak ditawarkan di rumah - rumah makan khas
Sunda. Ada berbagai tanggapan mengenai masakan khas sunda di masyarakat.
“Makanan
Sunda itu sederhana, rasanya cenderung asin, biasanya juga mentah dan rasanya
segar,” ujar Dhiany, perempuan yang berasal
dari Majalaya.
Berbeda
lagi dengan Setyo Aji Harjanto. Pria Tangerang yang pernah menjadi wartawan
kuliner di salah satu media daring itu mengatakan bahwa makanan Sunda adalah
makanan yang mecerminkan budaya Sunda.
“Makanannya
ya seperti nasi liwet, awug, dan lalapan,”
katanya.
B. Makanan dan Kebudayaan.
Dalam
kajian antropologi, makanan dipandang memiliki makna - makna simbolik yang jauh
lebih dalam ketimbang sekadar pemenuh kebutuhan sehari-hari. Seto Nurseto,
seorang lulusan program studi antropologi Universitas Padjadjaran, mengatakan
bahwa makanan berkaitan erat dengan kebudayaan yang melingkupinya. Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebanyakan orang kerap
menyamakan kebudayaan dengan kesenian, terutama kesenian tradisonal, padahal
kesenian hanyalah satu bagian kecil dari kebudayaan.
“Budaya pahili
eujeung seni. Jadi, orang kalau ditanya ‘tahu budaya sunda, tidak?’
jawabnya jaipongan, ketuk tilu, kuliner, dan seterusnya. Bagi mereka, budaya
Sunda hanya itu,” ujar Mochamad Ari Mulia, Ketua Dewan
Karatuan Majelis Adat Sunda.
Rimbo
Gunawan, pengampu mata kuliah ‘Makanan
dan Kebudayaan’ di program studi antropologi Universitas Padjadaran
menjelaskan: sesuatu yang dianggap makanan oleh satu kebudayaan belum tentu
dianggap makanan juga oleh kebudayaan yang lain. Setiap kelompok mengatur
makanan mereka berdasarkan aturan budaya masing-masing. Aturan itu bisa
didasari berbagai macam hal seperti keyakinan, sejarah, dan lain-lain.
Konsekuensinya paradoksal: di satu sisi makanan bisa mengkotak-kotakan, tapi di
sisi lain makanan juga bisa menjadi pemersatu.
“Perjanjian
damai, misalnya, pasti diawali atau diakhiri dengan makan bersama,”
ujar calon doktor Radboud University, Nijmegen, Belanda, tersebut.
C. Makanan Sunda dan Lalapan.
Dalam
makalahnya untuk Konferensi Internasional Budaya Sunda I pada Agustus 2001
silam, pakar mikrobiologi Institut Teknologi Bandung Unus Suriawiria
menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda, lebih dari 65 persen di antaranya
ialah tumbuh - tumbuhan. Unus dalam bukunya Lalab dalam Budaya dan Kehidupan
Masyarakat Sunda menjelaskan bahwa kegemaran masyarakat Sunda
makan lalap sejalan dengan budayanya yang mementingkan harmoni manusia dengan
alam. Samson, seorang pengamat budaya Sunda yang bekerja sebagai dosen Ilmu
Informasi dan Perpustakaan Universitas Padjajaran, mengatakan bahwa budaya
Sunda tak sekadar mendefisinisikan suku atau etnis. Menurutnya, lebih dalam
dari itu, kebudayaan Sunda juga membicarakan kebaikan dan keburukan.
“Ada
penanda dari kebudayaan Sunda yang berjaya selama 900 tahun, yaitu Sad Rasa
Kemanusiaan atau enam aspek nilai kemanusiaan Sunda. Yang pertama adalah moral
manusia terhadap Tuhan, kedua adalah moral manusia terhadap pribadinya, yang
ketiga adalah moral manusia dengan manusia lainnya, keempat adalah moral
manusia terhadap waktu, yang ke lima itu moral manusia terhadap alam, dan yang
terakhir adalah moral manusia terhadap kesejahteraan lahir batin,”
ujar Samson.
Maka,
kebudayaan Sunda menuntut manusia supaya berhubungan baik dengan semua ciptaan
Tuhan lainnya. Tidak hanya dengan sesama manusia, tapi juga dengan hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Hal itu semakin memperjelas bahwa manusia Sunda memang
mengenal alam dan terbiasa hidup menyatu dengan alam. Kebiasaan mengkonsumsi
lalap hanya salah satu pantulan dari cara hidup tersebut. Samson melanjutkan,
pehuma Sunda mengenal pembagian tanaman berdasarkan untuk siapa tanaman itu
ditanam. Dalam proses bertani yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan
itu mereka juga menyempatkan diri menanam tumbuh-tumbuhan buat dimakan
hewan-hewan yang tinggal di kawasan tersebut dan yang berguna dalam merawat
ekosistem. Contohnya, dekat sumber air atau tampias, pehuma kerap menanam marémé karena
tumbuhan itu mampu menahan air. Berbeda dari Samson, menurut Rimbo,
keterampilan manusia Sunda mengenali alamnya boleh jadi merupakan buah dari
keragaman ekologi yang ada di tanah Sunda.
“Dalam
seminar kebudayaan Sunda pada 2005 atau 2009, ada satu makalah yang mengatakan
keragaman hayati di Jawa Barat jauh lebih kaya dibandingkan Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Dari pernyataan itu kita bisa menganalisis apakah keragaman itu
terkait dengan lalapan. Dan dari situ kita bisa menangkap bahwa orang Sunda
mendefinisikan lalap secara sangat luas,” ujarnya.
0 komentar:
Post a Comment