Pangeran Diponegoro (Bagian 1)
A.
Pendahuluan.
Soal
patok mematok tanah yang melibatkan keraton, ini sebenarnya bukan hal baru di
Yogyakarta. Jangan dilupakan, musabab perlawanan Diponegoro yang memicu Perang
Jawa (1825-1830) tak lain karena patok mematok tanah. Dulu, pematokan lahan
tanpa persetujuan pemilik lahan, bisa menimbulkan perang. Sudah ditulis dalam
buku sejarah, pematokan tanah Pangeran Diponegoro oleh Patih Keraton dan
Belanda telah melahirkan Perang Jawa. Pada 16 Februari 2016, bentrokan terjadi
di Sidorejo, Kulonprogo. Pemicunya adalah sengketa lahan terkait pembangunan
Bandara Internasional Kulonprogo. Badan Pertanahan Nasional, di bawah
lindungan Polisi, Satpol PP dan TNI, memasangi patok-patok di beberapa titik.
Sidorejo, Palihan, Kragon, Bapangan dan Glagah pun kena patok. Angkasa Pura I,
yang akan mengelola bandara Kulonprogo, mengalokasikan dana sekitar 4 triliun
rupiah. Sebagian di antaranya untuk pembebasan lahan. Pihak Pakualaman akan
menerima Rp727 miliar sebagai ganti rugi atas sebagian tanah Pakualaman Ground
yang terkena pembebasan lahan. Pakualam selama ini merasa tanah-tanah yang
dimiliki penduduk di sana secara historis adalah milik wangsa Pakualam.
B.
Klaim Keraton Ground.
Di
sekitar Pakualam Ground, terdapat juga area yang masih diklaim sebagai Sultan
Ground. Di antaranya adalah lahan yang menjadi sengketa tambang pasir besi.
Rencana tambang pasir besi itu mengancam kehidupan pertanian lahan pasir yang
selama ini menyangga perekonomian warga di sana. Selama ini lahan pasir di Kulonprogo
berhasil ditanami cabai atau semangka. Tanah-tanah sengketa tersebut
seringkali diklaim sebagai Sultan Ground (tanah-tanah milik Kesultanan) dan
Pakualam Ground (tanah-tanah milik Pakualaman) Yogyakarta. Wilayah
kekuasaan kedua wangsa itu berada di wilayah Yogyakarta sekarang. Wilayah kuasa
Kesultanan di sekitar kota Yogyakarta, namun wilayah Pakualaman lebih banyak di
daerah yang dulu dikenal sebagai Adikarto (kini Kulonprogo). Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1951, mulai tanggal 15 Oktober 1951 Adikarto masuk
ke dalam daerah Kulonprogo. Semula, sebelum Belanda menguasai secara
absolut tlatah Jawa, Mataram adalah kerajaan berdaulat dan menguasai Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Setelah kematian Sultan Agung dan Amangkurat I
menjadi raja, kedaulatan Mataram atas wilayahnya berkurang. Apalagi setelah
beberapa wilayah jadi milik Belanda, Mataram pun dipecah jadi empat bagian.
Selain Kesultanan dan Pakualaman di Yogyakarta, ada Kasunanan dan Mangkunegara
di Solo. Setelah Indonesia merdeka, Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan
wilayah Kesultanan Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia sejak 5
September 1945. Setelah penggabungan dengan Republik tersebut, harusnya
Kesultanan tunduk kepada Undang-Undang Agraria Republik Indonesia. Menurut
Ketua Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran, berdasar Peraturan Daerah (Perda) DIY
No.5/1954 tentang hak atas tanah dan tanah bekas Sultan Ground dan Pakualaman
Ground, Sultan Ground tidak ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang ada adalah
tanah negara. Selama ini, di bekas wilayah Kesultanan, sudah banyak rakyat yang
memegang sertifikat tanah dari lahan yang mereka tinggali dan miliki. Atas nama
keistimewaan, yang termaktub dalam UU Keistimewaan DIY, topik mengenai status
tanah Sultan Ground atau Pakualam Ground kembali mencuat. Ada berbagai isu
agraria yang masih menjadi ganjalan di Yogyakarta. Dari soal kepemilikan tanah
etnis Tionghoa hingga soal lahan-lahan yang dirancang sebagai area Bandara
Internasional Kulonprogo. Cerita Pematokan Tanah Diponegoro. Soal patok
mematok tanah yang melibatkan keraton, ini sebenarnya bukan hal baru di
Yogyakarta. Jangan dilupakan, musabab perlawanan Diponegoro yang memicu Perang
Jawa (1825-1830) tak lain karena patok mematok tanah juga. Terkait
patok-mematok di sekitar areal yang bakal menjadi Bandara Internasional
Kulonprogo, patok mematok tanah yang menjadi makam leluhur Pangeran Diponegoro
pun punya alasan yang hampir sama: demi lancarnya transportasi. Sebelah timur
Tegalrejo akhirnya dijadikan jalur utama jalan poros Yogyakarta-Muntilan-Magelang.
Begitulah rencana Residen Yogyakarta, Smissaert, pada pertangahan Mei 1825.
Orang-orang Patih Danurejo, atas restu Residen Yogyakarta Smissert, memasangi
patok-patok untuk memperluas jalan di sekitar tanah dan juga makam leluhur Diponegoro
di sisi barat Yogyakarta itu. “Pada 17 Juni 1825, jalan ini mulai mulai
dipasangi patok oleh orang-orang Kepatihan,” tulis Peter Carey dalam Takdir
Riwayat Pangeran Diponegoro (2014). Patok-patok itu ternyata menghalangi jalan
yang biasa dilintasi orang-orang yang bekerja di tanah-tanah milik
Diponegoro yang berada di sekitar Tegalrejo. Sang Patih, yang
dekat dengan Belanda itu, punya permusuhan lama dengan Diponegoro. Ketika akan
ada pematokan lahan tersebut, Patih Danurejo selaku perpanjangan Sultan dan
Belanda tak memberitahukan kepada Pangeran Diponegoro selaku pemilik tanah.
Patih, meski berstatus sebagai pembantu Sultan (di Yogya) atau Sunan (di Solo),
namun pada praktiknya dia ditunjuk oleh Belanda. Menurut Peter Carey, “Sekilas
perbuatan Patih Danurejo ini disengaja, sehingga menimbulkan situasi panas dan
perkelahian antara pengikut Diponegoro dan anak buah Patih yang segera
melibatkan penduduk setempat.” Pengikut Diponegoro yang tinggal dan bertani di
sekitar Tegalrejo, yang merasa tidak dibebani pungutan oleh sang Pangeran,
mencabuti patok-patok tersebut. Mereka rela berkelahi dengan orang-orang Patih
Danureja. Sang Patih, dalam beberapa cerita, digambarkan sebagai sosok yang
licin namun begitu loyal kepada Belanda. Menurut Peter Carey, sang
pangeran akhirnya memerintahkan mengganti patok-patok jalan dengan
tombak-tombak. Bagi Sang Pangeran, pengerjaan jalan itu yang dilakukan secara
sepihak dan tidak mengindahkan tata krama merupakan casus belli alias
muasal Perang Jawa yang berkobar sejak 1825 hingga 1830. Dalam perang yang
menguras kantong Pemerintah Kolonial Hindia Belanda itu, pihak Pangeran
Diponegoro kalah. Sang Pangeran dijebak dalam perundingan di sekitar Magelang.
Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan Makassar, jauh dari
tanah yang dulu dibelanya dengan penuh keberanian. Saat ini, di sekitar
makam leluhur Diponegoro tersebut, terdapat jalan aspal yang agak lebar dan
juga rel kereta api. Ada jalan raya menuju Muntilan, juga rel kereta menuju
arah barat ke Wates dan Kutoarjo. Untuk alasan pembangunan transportasi yang
direncakan pemerintah kolonial dan didukung oleh Keraton, Pangeran Diponegoro
dan pengikutnya harus mengangkat senjata. Melawan Belanda, juga menghadapi
kerabatnya sendiri sesama keturunan Sultan Agung. Patok - patok itu kini
kembali tertancap di sisi barat Yogyakarta. Tidak lagi di Tegalrejo, tapi di
Kulonprogo. Tidak ada lagi Belanda yang punya agenda pembangunan transportasi
(darat), yang ada hanya Angkasa Pura yang punya rencana membangun sarana
transportasi (udara). Tapi Kraton masih ada, sebagaimana zaman Diponegoro, dan
sama-sama terkait dengan cerita baru soal patok-patok yang tertancap di
tanah.
0 komentar:
Post a Comment