Ekonomi Indonesia Era Kolonial
Belanda
A. Pendahuluan.
“Hindia
adalah gabus yang di atasnya Belanda mengapung.”
J.C. Baud, Gubernur Jendral Hindia Belanda (1834-1836).
Gema
pernyataan J.C. Baud di atas terus berdengung hingga seabad setelah ia
berkuasa. Pernyataan tersebut diucapkan saat Tanam Paksa baru saja diberlakukan
dan negeri Belanda berhasil menambal defisit keuangan akibat Perang Jawa.
Pernyataan yang benar-benar memperlihatkan ketergantungan ekonomi Belanda
kepada tanah jajahan yang dijuluki “Dee Gordel van Smaragd” (zamrud
khatulistiwa) itu. Ketika zaman berubah dengan pemberlakuan politik etis dan
liberalisme ekonomi, sifat ketergantungan tersebut tidak ikut berubah. Belanda
malah makin bergantung kepada Hindia.
Memasuki
abad 20, Belanda, kerajaan kecil yang dikelilingi imperium-imperium besar
Eropa, seperti menemukan harga dirinya di hadapan bangsa - bangsa lain dengan
menjadi tuan di sebuah negeri kepulauan yang bentangannya setara jarak Moskow -
London.
B. Masa Kemakmuran yang Singkat dan
Depresi Ekonomi.
Awal
abad 20 ditandai kemakmuran yang makin meningkat di Hindia. Ini berbarengan
dengan program politik etis yang membuka jalan bagi kaum pribumi memperoleh
pendidikan layak. Gabungan antara meningkatnya kemakmuran dan politik etis
membuat taraf kehidupan masyarakat naik, tanpa ada preseden sebelumnya dalam
sejarah kolonialisme Belanda di Hindia. Angka-angka statistik ekonomi dari awal
abad 20 dalam hal pendapatan pemerintah melonjak drastis dibanding masa
sebelumnya.
Seperti
ditunjukkan dalam Sejarah Statistik
Ekonomi Indonesia suntingan Pieter
Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (1987), dari rata - rata 125 juta gulden
tiap tahun pada dasawarsa terakhir abad 19, melonjak jadi 700 jutaan pada
dekade 1920-an. Ini hampir enam kali lipat dalam kurun tiga puluh tahun saja.
Negara-negara kolonial lain bisa dipastikan iri bukan kepalang. Pada periode
tersebut, rata-rata 10 persen dari pendapatan bersih Hindia masuk ke kantong
Kerajaan Belanda atau menyumbang 8 persen dari total Produk Domestik Neto. Data
ini didapat melalui perhitungan yang dilakukan Angus Maddison dalam Sejarah Ekonomi Indonesia (1988).
Kenaikan
pendapatan terutama dari meningkatnya hasil tanaman ekspor di
perkebunan-perkebunan luar Jawa. Dengan pendapatan sebesar itu, Belanda secara
langsung mendapat cipratan dari meningkatnya kemakmuran Hindia. Ekspor laris,
Belanda makmur. Tapi periode kemakmuran hanya berlangsung singkat.
Pada
akhir dekade 1920 - an, kecenderungan kenaikan pendapatan tiba - tiba menurun
akibat krisis ekonomi 1929 (lebih dikenal Malaise’) dan tak mampu mencapai
titik pendapatan seperti sediakala sampai Belanda angkat kaki dari Indonesia.
Data
dari Creutzberg dan van Laanen memang menunjukkan penurunan tajam: pendapatan
bersih Hindia Belanda pada masa krisis terpangkas hampir separuh dari rata-rata
700 juta pada 1920-an menjadi sekitar 400 juta. Hindia Belanda mengalami
pukulan telak karena andalan ekspornya, yaitu produk minyak bumi dan pertanian,
terhambat masuk ke Eropa dan Amerika Utara gara - gara kebijakan proteksi
sekaligus mengalami penurunan harga signifikan. Sebelum krisis, sebanyak 52
persen produk minyak bumi dan pertanian diekspor ke sana dan menurun menjadi
hanya sepertiga pada pertengahan 1930 - an. Krisis diikuti depresi ekonomi
panjang yang disebabkan pemerintah bersikukuh menolak devaluasi Gulden meski
negara-negara lain sudah melakukannya dan meninggalkan standar
emas. Kekuatan Malaise dalam melemahkan sektor-sektor usaha sungguh
dahsyat. Tak terhitung jumlah wiraswasta gulung tikar dan para petani mengalami
kebangkrutan. Salah satu akibat yang paling memukul adalah meningkatnya
apatisme dan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah.
Dengan
kontribusi ekonomi yang signifikan, ketergantungan Belanda kepada Hindia pada
saat krisis mencapai titik kulminasi yang semakin tinggi. Belanda kian gencar
mengeskploitasi Hindia lantaran sumber - sumber pendapatan dari dalam negeri
dianggap tidak lagi mencukupi untuk menanggulangi badai krisis ekonomi.
Pendapatan dari tanah jajahan lain pun hanya recehan dibanding Hindia. Langkah
yang diambil Belanda adalah mengintensifkan hasil pertanian dan perkebunan dari
daerah luar Jawa. Sebab, saat itu, selain karena krisis ekonomi, Jawa sudah
mengalami masa kejenuhan pertanian akibat proses eksploitasi yang sangat
lama.
Di
luar Jawa, sebagaimana dicatat Anne
Booth dalam Sejarah Ekonomi Indonesia,
“Produksi
Hasil Tanaman dagang para petani kecil tumbuh dengan pesat.”
Barang-barang
konsumsi yang diimpor pun merupakan perangsang bagi petani untuk lebih giat
mencari nafkah dengan menanam tanaman komoditas ekspor. (hlm. 393). Di sini
terlihat, meski pendapatan dari tanah jajahan menurun lantaran krisis, Belanda
masih terselamatkan dengan tanaman komoditas dari luar Jawa. Maka, apabila
kelak Hindia tiba-tiba lepas dari genggaman, terbayang pahitnya situasi yang
akan dialami Belanda. Sampai saat itu, sudah tiga abad Belanda dimanjakan oleh
rezeki yang datang dari Hindia. Itu artinya, selama tujuh generasi, orang-orang
di negeri Belanda menikmati secara langsung kemakmuran yang ditopang tanah
jajahannya. Bayangkan, tujuh generasi. Mereka tidak punya imajinasi yang cukup
untuk membayangkan apa yang terjadi jika Hindia benar-benar merdeka. Dan di
saat genting seperti itu, Belanda justru menunjukkan sikap pongah dan kian
percaya diri jika mereka bakal terus berkuasa di Hindia sampai akhir zaman.
Pernyataan
Gubernur Jenderal de Jonge pada 1935, yang kemudian menjadi sangat terkenal,
bahwa “Kami akan berada di sini 300 tahun lagi, bila perlu dengan tongkat dan
senjata” bisa dipakai sebagai representasi pendapat umum masyarakat
Belanda saat itu. Tapi itu sebenarnya hanya ilusi yang mereka ciptakan sendiri
untuk menutupi perasaan cemas akan bahaya laten yang menghadang di depan
mata: lepasnya Hindia. Ada perasaan tidak siap. Ada perasaan posesif yang
tak dapat diterangkan. Dan kecemasan itu kian bertambah ketika eksistensi
negara kolonial makin berguncang akibat desakan kaum pergerakan.
C.
Kaum
Pergerakan Menambah Cemas.
Meski
dua dasawarsa terakhir kekuasaan Belanda diwarnai surutnya pergerakan kaum
nasionalis akibat represi dan kebijakan konservatif gubernur jenderal, semangat
dekolonisasi di kalangan rakyat Indonesia tak pernah benar-benar padam. Periode
ini disebut sejarawan Merle C. Ricklefs
dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 sebagai “Tahapan yang paling Menindas dan
paling Konservatif” dalam sejarah Belanda di Indonesia abad 20 (hlm.
388).
Belanda
memang berhasil “menjinakkan” para pentolan pergerakan nasional dengan
menjebloskan mereka ke penjara atau membuangnya ke luar Jawa. Tapi, yang
diabaikan oleh Belanda adalah tiga puluh tahun pergerakan nasional telah
menghilangkan kepercayaan para aktivis nasionalis terhadap pemerintah kolonial.
Sehingga satu-satunya jalan yang paling mungkin bagi mereka adalah melawan
Belanda.
Di
samping itu, di tengah perpecahan yang melanda, para elite tetap bergerak
dengan sadar dan mentaati konsensus bahwa tujuan politik paling utama dari
perjuangan mereka adalah Indonesia merdeka. Pemerintah kolonial bukannya tak
memahami gejala ini, tetapi langkah-langkah yang diambil justru makin
mengesankan mereka tak punya formula ideal untuk menanganinya.
Penangkapan-penangkapan terhadap para aktivis memang bisa menyelesaikan
persoalan rumit, tapi ini hanya berlaku sesaat. Suara perlawanan dari
jalur resmi Volksraad justru semakin lantang dan menciptakan solidaritas
tersendiri di kalangan aktivis, baik yang kooperatif maupun non-kooperatif. Ini
sebuah pemandangan yang langka dalam tiga dekade pergerakan nasional. Kelak,
pada saat Belanda datang lagi pada 1945, hal inilah yang membuat mereka kompak
menentangnya.
Belanda
juga bersikap keras kepala menghadapi tuntutan paling minimum dari para aktivis
tentang “Indonesia Berparlemen” pada 1940. Tuntutan ini terutama datang
dari Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan beberapa anggota Volksraad seperti
M.H. Thamrin dan Sutarjo. Pemerintah kolonial tegas menolak tuntutan
tersebut dan menyatakan, dalam keadaan negeri Belanda diduduki oleh Jerman,
parlemen Belanda tidak berfungsi dan tidak mempunyai wewenang untuk menentukan
nasib Indonesia. Selain itu, pemerintah Belanda ingin mengesankan kepada
rakyatnya bahwa mereka tidak akan “menjual” Hindia dalam suasana perang yang
sukar itu.
“Bagi
pemerintah, Kerajaan Belanda dalam segala bagian - bagiannya harus
dipertahankan sampai akhir peperangan,” tegas sejarawan
Ong Hok Ham dalam Runtuhnya Hindia Belanda (hlm.
134).
Kegagalan
pemerintah kolonial menangkap dinamika sejati dari pergerakan nasional
merupakan salah satu wujud paling subtil dari kecemasan-kecemasan
itu. Konsesi - konsesi yang ditawarkan kepada Indonesia pada “menit-menit
akhir” kekuasaan Belanda menjadi percuma karena para elite pergerakan sudah
kehabisan kepercayaan dan menganggapnya sebagai basa-basi belaka. Terlihat
jelas bahwa yang paling menonjol dari sikap Belanda di masa-masa akhir itu
adalah kegagapan. Bahkan kebebalan. Di negeri Belanda sendiri, orang-orang
cenderung memandang sinis aktivitas kaum pergerakan. Kaum konservatif
menganggap mereka sebagai kaum yang tidak tahu diuntung karena mereka “Menjadi
Manusia Utuh” berkat kebaikan Belanda—pandangan yang berakar dari
rasialisme kolonial sejak abad 17 yang menganggap orang pribumi sebagai
setengah manusia.
Kisah
Minke dalam tetralogi Pulau Buru karya
Pramoedya Ananta Toer bisa dijadikan ilustrasi yang bagus. ‘Minke’, yang
berasosiasi dengan ‘monkey’ (monyet), adalah julukan yang diberikan oleh Magda
Peters, guru sekolahnya, kepada tokoh utama dalam novel tersebut. Julukan
tersebut jelas merendahkan dan menjadi gambaran bagaimana orang-orang Belanda
memandang kaum pribumi. Sinisme dan rasialisme itu juga sesungguhnya kecemasan
dalam bentuk lain: orang-orang Belanda sebenarnya sedang menikmati “zona
nyaman” sebagai kolonialis yang menganggap diri baik hati dan aspirasi para
aktivis mengusik kenyamanan tersebut. Pelbagai kegagalan dalam menyikapi
aspirasi yang berkembang itu membuat Belanda semakin kepayahan mempertahankan
kekuasaan. Ditambah faktor Perang Dunia II dan kelengahan mengantisipasi
agresivitas Jepang, negara Hindia Belanda akhirnya runtuh pada 1942. Maka,
puncak dari kecemasan yang melanda orang-orang Belanda telah tiba ketika
mereka mesti mengucapkan selamat tinggal kepada tanah Hindia. Dalam siaran
pamungkas radio NIROM, tepat malam hari setelah Belanda menyerah kepada Jepang,
sang penyiar mengucapkan salam terakhir dengan nada penuh kegetiran : “Vaarwel, tot Bettere Tijden” (Selamat
tinggal, sampai jumpa di waktu yang lebih baik).