Pemanasan Global : Pengertian,
Proses, Penyebab dan Dampaknya
A. Pengertian Pemanasan Global.
Pemanasan
global adalah kenaikan suhu permukaan bumi yan disebabkan oleh peningkatan
keluaran (emisi) gas rumah kaca, seperti; karbondioksida, metana, dinitro
oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksafluorida di
atmosfer. Selama 20 abad ini, kenaikan suhu diperkirakan mencapai 0,3-0,8°C.
Untuk 100 tahun kedepan, kenaikannya diperkirakan mencapai 4°C. Kenaikan suhu
ini dapat merubah iklim sehingga menyebabkan perubahan pola cuaca yang dapat
menimbulkan peningkatan dan perubahan curah hujan, angin dan badai, serta
terjadinya bencana alam yang dapat memakan banyak korban jiwa.
Pemanasan
global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama yang dihadapi
dunia saat ini. Pemanasan global berhubungann dengan proses meningkatnya suhu
rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu permukaan bumi ini dihasilkan oleh
adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, kemudian sebagian sinar
ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah diserap oleh
udara dan permukaan bumi.
Sebagian
sinar infra merah dipantulkan kembali ke atmosfer dan ditangkap oleh gas-gas
rumah kaca yang kemudian menyebabkan suhu bumi meningkat.
Gas-gas
rumah kaca terutama berupa karbon dioksida, metana dan nitrogen oksida.
Kontribusi besar yang mengakibatkan akumulasi gas-gas kimia ini di atmosfir
adalah aktivitas manusia. Temperatur global rata-rata setiap tahun dan lima
tahunan tampak meningkat, seperti pada diagram berikut (Anonim, 2004).
B. Proses Pemanasan Global.
Proses
pemanasan global terjadi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut (Gb). Ketika sinar matahari memasuki atmosfir bumi,
sinar matahari tersebut harus melalui lapisan gas rumah kaca. Setelah mencapai
seluruh permukaan bumi, tumbuhan, tanah, air, dan komponen ekosistem lainnya
menyerap energi dari sinar matahari tersebut. Sisanya akan dipantulkan kembali
ke atmosfir. Sebagian energi dikembalikan ke angkasa, tetapi sebagian lagi
terperangkap oleh gas rumah kaca di atmosfir dan dikembalikan ke bumi sehingga
dikenal dengan nama efek rumah kaca (green house effect).
Efek
rumah kaca dapat mengakibatkan mencairnya bongkah-bongkah es di kutub. Bila
dibiarkan terus-menerus permukaan air laut akan naik yang menyebabkan tenggelamnya
pulau-pulau kecil dan daerah tepi pantai.
C. Penyebab Pemanasan Global atau
Global Warming.
1.
Efek
Rumah Kaca.
Segala sumber energi yang terdapat di
Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi
gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan
Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan
Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian
dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya
jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida, dan metana yang
menjadi perangkap gelombang radiasi ini.
Gas-gas ini menyerap dan memantulkan
kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut
akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut
berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya
konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di
bawahnya.
Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat
dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet
ini akan menjadi sangat dingin. Sehingga es akan menutupi seluruh permukaan
Bumi. Akan tetapi, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer,
pemanasan global menjadi akibatnya.
2.
Efek
Umpan Balik.
Efek-efek dari agen penyebab pemanasan
global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya.
Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat
bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan
menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air
sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah
jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap
air.
Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih
besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini
meningkatkan kandungan air absolut di udara,kelembaban relatif udara hampir
konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik
ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang
panjang di atmosfer.
Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan
sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan
memantulkan radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek
pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan
sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek
pendinginan. Apakah efek netto-nya
pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu
seperti tipe dan ketinggian awan tersebut.
Detail-detail ini sulit
direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim
(sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan
IPCC ke Empat Umpan balik penting
lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.
Ketika temperatur global meningkat, es
yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat.
Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan
terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih
sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak
radiasi Matahari.
Hal ini akan menambah pemanasan dan
menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang
berkelanjutan. Umpan balik positif
akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah
mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang
meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon
juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya
tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom
daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
3.
Variasi
Matahari.
Pemanasan global dapat pula diakibatkan
oleh variasi matahari. Suatu hipotesis menyatakan bahwa variasi dari Matahari
yang diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam
pemanasan saat ini (Marsh and Henrik, 2000). Perbedaan antara mekanisme ini
dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari
akan memanaskan stratosfer, sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan
stratosfer.
Pendinginan stratosfer bagian bawah
paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila
aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan
ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut
terjadi mulai akhir tahun 1970-an. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan
dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari
masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950
(Hegerl, et al. 2007, Ammann, et al, 2007).
Hasil penelitian menyatakan bahwa kontribusi
Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke
University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap
45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan
sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000 (Scafetta and West, 2006). Selanjutnya
menurut Stott (2003) bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat
estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan
pengaruh Matahari, mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu
vulkanik dan aerosol sulfat juga tidak diperhitungkan. Walaupun demikian,
mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim
terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi
pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Peningkatan
suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 menurut Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Suhu permukaan global
akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C antara tahun 1990 dan 2100. Dengan menggunakan
model iklim, perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan
skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang,
serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda.
Walaupun
sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan
kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari
seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan
besarnya kapasitas panas dari lautan.
Beberapa
hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang
diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta
perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik
di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi
atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap
konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah
menandatangani dan meratifikasi
Protokol Kyoto,
yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca. Protokol ini mengharuskan negara-negara industri untuk menurunkan
emisinya sebesar 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 dengan target
waktu hingga 2012 dan baru memperoleh kekuatan hukumnya secara internasional
pada tanggal 16 Februari 2005.
Hingga
23 Oktober 2007 sudah 179 negara yang meratifikasi Protokol Kyoto tersebut.
Kemudian pada tanggal 3-14 Desember 2007 di Bali diselenggarakanlah Konvensi
Tingkat Tinggi yang digelar oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on
Climate Change) dan dihadiri hampir 10 ribu orang dari 185 negara. Melalui
pertemuan tersebut diharapkan dapat mengevaluasi hasil kinerja dari Protokol
Kyoto yang dibuat sebagai bukti komitmen negara-negara sedunia dalam mengurangi
emisi Gas Rumah Kaca demi menanggulangi permasalahan yang terjadi saat ini.
D. Dampak Pemanasan Global bagi
Ekosistem.
Pemanasan global diperkirakan telah
menyebabkan perubahan-perubahan sistem terhadap ekosistem di bumi, antara lain;
perubahan iklim yang ekstrim, mencairnya es sehingga permukaan air laut naik,
serta perubahan jumlah dan pola presipitasi.
Adanya
perubahan sistem dalam ekosistem ini telah memberi dampak pada kehidupan di
bumi seperti terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan punahnya
berbagai jenis hewan. Pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah
konsekuensi yang merugikan baik terhadap lingkungan maupun setiap aspek
kehidupan manusia.
Beberapa di antaranya adalah
sebagai berikut :
1.
Mencairnya
lapisan es di kutub Utara dan Selatan.
Peristiwa ini mengakibatkan naiknya
permukaan air laut secara global, hal ini dapat mengakibatkan sejumlah
pulau-pulau kecil tenggelam.
2.
Kehidupan
masyarakat yang hidup di daerah pesisir terancam.
Permukiman penduduk dilanda banjir rob
akibat air pasang yang tinggi, dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan
ekonomi. Jika ini terjadi terus menerus maka akibatnya dapat mengancam sendi
kehidupan masyarakat.
3.
Punahnya
berbagai jenis fauna.
Flora dan fauna memiliki batas toleransi
terhadap suhu, kelembaban, kadar air dan sumber makanan. Kenaikan suhu global
menyebabkan terganggunya siklus air, kelembaban udara dan berdampak pada
pertumbuhan tumbuhan sehingga menghambat laju produktivitas primer. Kondisi ini
pun memberikan pengaruh habitat dan kehidupan fauna.
4.
Mengancam
kerusakan terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang yang ada di enam
negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Kepulauan Salomon, Papua Nugini, Timor
Leste, dan Philipina.
Dikhawatirkan merusak kehidupan masyarakat lokal
yang berada di sekitarnya. Masyarakat lokal yang pertama kali menjadi korban
akibat kerusakan terumbu karang ini. Untuk menyelamatkan kerusakan terumbu
karang akibat pemanasan global ini, maka para aktivis lingkungan dari enam
negara tersebut telah merancang protokol adaptasi penyelamatan terumbu karang.
Lebih dari 50 persen spesies terumbu karang dunia hidup berada di kawasan
segitiga ini.
Berdasarkan
data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebanyak 30 persen
terumbu karang dunia telah mati akibat badai el nino pada 1998 lalu.
Diprediksi, pada 10 tahun ke depan akan kembali terjadi kerusakan sebanyak 30
persen.
0 komentar:
Post a Comment