Perbuatan Melawan Hukum : Pandangan Hukum
Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara
A. Perspektif Hukum Perdata.
Pasal
1365 BW yang terkenal sebagai pasal yang mengatur tentang perbuatan melawan
hukum memegang peranan penting dalam hukum perdata.
Dalam
pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan sebagai berikut :
“Setiap
perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang
lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu
mengganti kerugian”.
Dari
pasal tersebut dapat kita lihat bahwa untuk mencapai suatu hasil yang baik
dalam melakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum maka harus dipenuhi
syarat-syarat atau unsur-unsur sebagai berikut :
1.
Perbuatan
yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar
hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si
pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang.
Dengan perkataan lain melawan hukum
ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.
2.
Harus
ada kesalahan.
Syarat
kesalahan ini dapat diukur secara :
a.
Obyektif
yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu
manusia yang normal dapat menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan
ini akan mencegah manusia yang baik untu berbuat atau tidak berbuat.
b.
Subyektif
yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat
berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari
perbuatannya.
Selain itu orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya,
karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti
rugi.
Sehubungan
dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan :
a.
Orang
yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian.
Dalam pengertian bahwa jika orang yang
dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian
tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu
dilakukan dengan sengaja.
b.
Kerugian
ditimbulkan oleh beberapa pembuat.
Jika kerugian itu ditimbulkan karena
perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung
jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.
3.
Harus
ada kerugian yang ditimbulkan.
Dalam
pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat
berupa :
a. Kerugian
materiil,
dimana kerugian materiil dapat terdiri
dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya
diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum
harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita,
juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
b. Kerugian
idiil,
dimana perbuatan melawan hukum pun dapat
menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan
kehilangan kesenangan hidup.
Untuk
menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus
dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada azasnya yang
dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika
terjadi perbuatan melawan hukum.
Pihak yang dirugikan berhak menuntut
ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan
tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.
4.
Adanya
hubungan causal antara perbuatan dan kerugian.
Untuk memecahkan hubungan causal antara
perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu :
1. Condition sine qua non.
Dimana
menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu
bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian
(yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua
syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).
2.
Adequate
veroorzaking.
Dimana menurut teori ini si pembuat
hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai
akibat dari pada perbuatan melawan hukum.
Terdapat
hubungan
causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat
yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum.
Jadi
secara singkat dapat diperinci sebagai berikut :
1.
Untuk perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada pasal
1364 BW.
2.
Untuk perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubunga kerja dengan
badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1367 BW.
3.
Untuk perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum,
pertanggung jawabannya dapat dipilih antara pasal 1365 dan pasal 1367 BW.
B. Perspektif Hukum Pidana.
Dalam
hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat
melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan
pidana.
Langemeyer
mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang
tidak dipandang keliru, itu tidak masuk akal”.
Mengenai ukuran daripada keliru
atau tidaknya suatu perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu :
1. Yang
pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka
disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata, dari
sifat melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian
yang telah ditentukan oleh undang-undang pula.
Dalam pendapat pertama ini melawan hukum
berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian yang
demikian disebut pendirian yang formal.
2. Yang
kedua berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki
larangan undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut pendapat ini yang
dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja,
disamping undang-undang (hukum yang
tertulis) adapula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau
kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian
disebut pendirian yang materiil.
Yang berpendapat
formal untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang
tersebut dalam wet, jika sudah demikian biasanya tidak perlu lagi untuk
menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya
menurut Simons “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang materiil tidak
dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak pembentuk
undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, dibawah pengawasan
keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak
selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan
hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila
mempunyai dasar hukum dalam hukum positif sendiri”.
Kiranya
perlu ditegaskan disini bahwa dimana peraturan-perautan hukum pidana kita
sebagian besar telah dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-lain
perundang-undangan,
maka
pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil diatas hanya mempunyai
arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan
undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana.
Akan tetapi jika kita mengikuti
pandangan yang materiil maka bedanya dengan pandangan yang formal adalah : 1
1.
Mengakui adanya pengecualian atau
penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis
dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui
pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja.
2.
Sifat melawan hukum adalah unsur
mutlak dari tiap-tiap perbuatan perbuatan pidana juga bagi yang dalam
rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang
formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana,
hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata barulah menjadi unsur
delik.
Dengan
mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini
tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut
oleh penuntut umum.
Soal
apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu
apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata, jika dalam
rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan.
Adapun konsekuensi daripada
pendirian yang mengakui bahwa sifat
melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :
1. Jika
unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur itu dianggap
dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak
terdakwa.
2. Jika
hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka
dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak
mungkin dijatuhi pidana.
Menurut
Jonkers dan Langemeyer dalam hal iu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan
hukum (ontslag van recht vervolging).
C. Perspektif Hukum Administrasi
Negara.
“Perbuatan
hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan peristiwa hukum, secara yuridis dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu :
1.
Yang
bersifat perdata.
Pihak aparat atau penguasa atau
administrasi dapat bertindak sebagai salah satu pihak dalam perjanjian perdata
atau sebagai individu perdata yang dapat membuat kontrak untuk melakukan
perbuatan tertentu.
Contoh : tender pengadaan bangunan atau
kontrak perjanjian.
2.
Yang
bersifat public.
a.
Bersegi
satu atau sepihak.
Unsur dalam membuat ketentuan secara
sepihak yaitu :
1. Dilakukan
oleh administrasi Negara.
2. Berdasarkan
kekuasaan istimewa.
3. Demi
kepentingan umum.
Contoh
: secara sepihak pihak yang berwenang berhak untuk menutup pabrik yang
melanggar IPAL.
b.
Bersegi
dua atau dua pihak.
Yaitu perbuatan hukum dimana terjadi
perjanjian atau kesepakatan atau penyesuaian kehendak antara kedua belah pihak
yang hubungan hukumnya tersebut diatur oleh hukum istimewa yaitu hukum publik.
Dalam hukum administrasi
Negara perbuatan atau keputusan yang sewenang-wenang adalah suatu perbuatan
atau keputusan administrasi Negara yang tidak mempertimbangkan semua faktor
yang relevan dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar sehingga
tampak atau terasa oleh orang-orang yang berpikir sehat (normal) adanya
ketimpangan.
Sikap
sewenang-wenang akan terjadi bilamana pejabat administrasi Negara yang
bersangkutan menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat
yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada
Pengadilan Perdata sebagai “perbuatan melawan hukum” atau “onrechmatige over
heidsdaad”.
Didalam hukum
admininstrasi Negara Inggris-Amerika Serikat asas yang sangat penting dan
dibahas secara luas adalah asas larangan “ultra vires” yakni penyalahgunan
jabatan atau wewenang dalam segala bentuk.
Di
Indonesia istilah yang dipergunakan adalah “detournement de pouvoir” yakni
bilamana suatu wewenang oleh pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk
tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang daripada apa yang dimaksudkan
atau dituju oleh wewenang sebagimana ditetapkan atau ditentukan oleh
undang-undang (dalam arti luas, dalam arti materiil) yang bersangkutan.
0 komentar:
Post a Comment