Hukum Kesehatan : Pengertian, Sejarah dan Ruang Lingkupnya
A. Pengertian Hukum Kesehatan.
Hukum Kesehatan (Health Law)
menurut :
1.
W.B.
Van Der Mijn.
Hukum Kesehatan diratikan sebagai hukum
yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi: penerapan
perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara.
2.
H.J.J.
Leenen.
Hukum kesehatan sebagai keseluruhan
aktivitas yuridis dan peraturan hukum di bidang kesehatan serta studi
ilmiahnya.
Secara
ringkas hukum kesehatan adalah :
a. Kumpulan
peraturan yang mengatur tetang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan.
b. Seperangkat
kaidah yang mengatur seluruh aspek yang berkaitan dengan upaya dan pemeliharaan
di bidang kesehatan.
c. Rangkaian
peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan
medik dan sarana medic.
B. Istilah Dalam Bidang Kesehatan.
1. Pelayanan
Medik :
Upaya pelayanan kesehatan yang
melembaga, berdasarkan fungsi sosial di bidang pelayanan kesehatan perorangan
bagi individu dan keluarga.
2. Sarana
Medik :
Meliputi rumah sakit (umum/khusus), klinik
spesialis, rumah/klinik bersalin, poliklinik atau balai pengobatan dan sarana
lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.
3. Kesehatan
:
Keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
4. Tenaga
kesehatan :
Setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang unjuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan.
5. Sarana
kesehatan :
Tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
6. Kesehatan
matra :
Upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang
berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.
Perbedaan Hukum Kesehatan (Health
Law) dan Hukum Kedokteran (Medical Law): hanya terletak pada ruang lingkupnya
saja.
1. Ruang
lingkup hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan kesehatan
(yaitu kesehatan badaniah, rohaniah dan sosial secara keseluruhan).
2. Ruang
lingkup hukum kedokteran hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan
profesi kedokteran. Oleh karena masalah kedokteran juga termasuk di dalam ruang
lingkup kesehatan, maka sebenarnya hukum kedokteran adalah bagian dari hukum
kesehatan.
C. Penyusunan Peraturan di Bidang
Kesehatan.
Latar
Belakang disusunnya peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan kesehatan,
adalah : karena adanya kebutuhan.
1. Pengaturan
pemberian jasa keahlian.
2. Tingkat
kualitas keahlian tenaga kesehatan.
3. Keterarahan.
4. Pengendalian
biaya.
5. Kebebasan
warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi kewajiban
pemerintah.
6. Perlindungan
hukum pasien.
7. Perlindungan
hukum tenaga kesehatan.
8. Perlindungan
hukum pihak ketiga.
9. Perlindungan
hukum bagi kepentingan umum.
D. Fungsi dan Ruang Lingkup Hukum
Kesehatan.
Fungsi hukum kesehatan adalah :
1. Menjaga
ketertiban di dalam masyarakat.
Meskipun hanya mengatur tata kehidupan
di dalam sub sektor yang kecil tetapi keberadaannya dapat memberi sumbangan
yang besar bagi ketertiban masyarakat secara keseluruhan.
2. Menyelesaikan
sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidang kesehatan).
Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
3. Merekayasa
masyarakat (social engineering).
Jika masyarakat menghalang-halangi
dokter untuk melakukan pertolongan terhadap penjahat yang luka-luka karena
tembakan, maka tindakan tersebut sebenarnya keliru dan perlu diluruskan.
Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat
yang menganggap dokter sebagai dewa yang tidak dapat berbuat salah. Pandangan
ini juga salah, mengingat dokter adalah manusia biasa yang dapat melakukan
kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu dihukum jika
perbuatannya memang pantas untuk dihukum.
Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak
saja perlu untuk meluruskan sikap dan pandangan masyarakat, tetapi juga sikap
dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa tidak senang jika berhadapan
dengan proses peradilan.
Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 23
tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan yang disebut sehat adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.
Menurut Leenen, masalah kesehatan
dikelompokkan dalam 15 kelompok : (Pasal 11 UUK).
1. Kesehatan
keluarga.
2. Perbaikan
gizi.
3. Pengemanan
makanan dan minuman.
4. Kesehatan
lingkungan.
5. Kesehatan
kerja.
6. Kesehatan
jiwa.
7. emberantasan
penyakit.
8. Penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan.
9. Penyuluhan
kesehatan.
10. Pengamanan
sediaan farmasi dan alat kesehatan.
11. Pengamanan
zat adiktif.
12. Kesehatan
sekolah.
13. Kesehatan
olah raga.
14. Pengobatan
tradisional.
15. Kesehatan
matra.
Hukum Kesehatan di Indonesia belum
seluruhnya memenuhi ruang lingkup yang ideal, sehingga yang diperlukan adalah :
1. Melakukan
inventarisasi dan analisis terhadap perundang-undangan yang sudah ada untuk dikaji
sudah cukup atau belum.
2. Perlu
dilakukan penyuluhan tidak hanya terbatas kepada tenaga kesehatan saja tetapi
juga kalangan penegak hukum dan masyarakat.
3. Perlu
dilakukan identifikasi yang tepat bagi pengaturan masalah-masalah kesehatan
guna pembentukan perundang-undangan yang benar.
E. Sumber Hukum Kesehatan.
Hukum
Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga
yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli
hukum maupun kedokteran. Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi,
mempunyai kekuatan mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus
atau pendapat para ahli tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat
dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan kewenangannya, yaitu
menemukan hukum baru.
1. Zevenbergen
mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber yang
menimbulkan hukum. Sedangkan
2. Achmad
Ali, sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan ke
dalam :
a. Sumber
Hukum Materiil, adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya,
hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan
kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber
Hukum Formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh
kekuatan hukum.
Melihat sumber hukum dari segi
bentuknya, Yang termasuk Sumber Hukum Formal, adalah :
1.
Undang
- Undang (UU).
Undang-undang ialah peraturan negara
yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang, dan mengikat
masyarakat. UU di sini identik dengan hukum tertulis (Ius scripta) sebagai
lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis tidak
bisa diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh
pembentuk hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
UU
dapat dibedakan dalam arti :
a. UU
dalam arti Formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara
terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang
memperoleh sebutan UU karena cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti
formal dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD’45).
b. UU
dalam arti Materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari
isinya dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.
2.
Kebiasaan.
Kebiasaan adalah perbuatan manusia
mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-ulang. Kebiasaan ini kemudian
mempunyai kekuatan normatif, kekuatan mengikat. Kebiasaan biasa disebut dengan
istilah adat, yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya kebiasaan. Adat
istiadat merupakan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan
tradisi yang mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan
itu dapat menimbulkan adanya hukum adat.
Prof.Dr. Sunaryati Hartono, SH, tidak
sependapat bahwa hukum kebiasaan itu disamakan dengan hukum adat, dengan
mengatakan :
“Apakah sudah benar dan tepat
pemahaman sementara sarjana hukum kita sekarang ini untuk menyamakan saja,
Hukum Kebiasaan dengan hukum Adat ? Karena di negara kita sudah berkembang
hukum kebiasaan dalam arti yang lebih luas, seperti hukum kebiasaan yang
dikembangkan di kalangan eksekutif (Administrasi Negara), di Pengadilan, hukum
kebiasaan dikalangan profesi hukum (notaris dan pengacara), khususnya dalam
bidang hukum kontrak, hukum dagang (hukum bisnis) dan hukum ekonomi pada
umumnya”.
Prof.
Ronny Hanitijo Soemitro, SH dan Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH, memberikan 3
unsur agar kebiasaan dapat diterima dalam masyarakat, yaitu :
a.
Syarat
kelayakan, pantas atau masuk akal.
Kebiasaan yang yang tidak memenuhi
syarat harus ditinggalkan. Ini berarti bahwa otoritas kebiasaan adalah tidak
mutlak tetapi kondisional, tergantung dari kesesuaiannya pada ukuran keadilan
dan kemanfaatan umum.
b.
Pengakuan
akan kebenarannya.
Ini berarti bahwa kebiasaan itu
hendaknya diikuti secara terbuka dalam masyarakat, tanpa mendasarkan pada
bantuan kekuatan di belakangnya dan tanpa persetujuan dari dikehendaki oleh
mereka yang kepentingannya dikenal oleh praktek dari kebiasaan tersebut.
Persyaratan ini tercermin dalam bentuk norma yang oleh pemakainya harus tidak
dengan kekuatan, tidak secara diam-diam, juga tidak karena dikehendaki.
c.
Mempunyai
latar belakang sejarah yang tidak dapat dikenali lagi mulainya.
Kebiasaan adalah bukan praktek yang baru
tumbuh kemarin dulu atau beberapa tahun yang lalu, tetapi telah menjadi mapan
karena dibentuk oleh waktu yang panjang.
3.
Yurisprudensi.
Yurisprudensi Adalah keputusan hakim/
pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi dasar bagi hakim-hakim
yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu menjadi
keputusan hakim yang tetap.
4.
Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber
hukum karena perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak (para pihak)
mengikat para pihak itu sebagai undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338
ayat 1 KUH Perdata.
Ada
3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :
a. Asas
konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan
mengikat) apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan
perjanjian.
b. Asas
kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian,
bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan dengan
siapa (subyek hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak bertentangan
dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
c. Asas
Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak (telah
disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
5.
Traktat
(Perjanjian Antarnegara).
Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan
bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
membuat perjanjian dengan negara lain. Perjanjian antaranegara yang sudah
disahkan berlaku dan mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya
masing-masing. Untuk itu suatu traktat untuk bias menjadi sumber hukum (formal)
harus disetujui oleh DPR terlebih dahulu, kemudian baru di RATIFIKASI oleh
Presiden dan setelah itu baru berlaku mengikat terhadap negara peserta dan
warganegaranya.
Traktat
yang memerlukan persetujuan DPR adalah traktat yang mengandung materi :
a. Soal-soal
Politik atau dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti perjanjian
tentang perubahan wilayah.
b. Soal-soal
perjanjian kerjasama ekonomi seperti hutang luar negeri.
c. Soal-soal
yang menurut system perundang-undangan Ri harus diatur dengan Undang-undang,
seperti Kewarganegaraan.
6.
Doktrin.
Doktrin Adalah pendapat para sarjana
hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi pengadilan (hakim) dalam mengambil
keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah satu sumber hukum (formal)
harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.
F. Sejarah Hukum Kesehatan.
Kronologis sejarah Hukum Kesehatan,
diantaranya :
1. Pada
awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak ada
seorangpun yang dapat menjelaskan secara benar tentang mengapa suatu penyakit
menyerang seseorang dan tidak menyerang lainnya. Pemahaman yang berkembang
selalu dikaitkan dengan kekuatan yang bersifat supranatural. Penyakit dianggap
sebagai hukuman Tuhan atas orang-orang yang yang melanggar hukumNya atau
disebabkan oleh perbuatan roh-roh jahat yang berperang melawan dewa pelindung
manusia. Pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau pemuka agama
melalui do’a atau upacara pengorbanan. Pada masa itu profesi kedokteran menjadi
monopoli kaum pendeta, oleh karena itu mereka merupakan kelompok yang tertutup,
yang mengajarkan ilmu kesehatan hanya di kalangan mereka sendiri serta merekrtu
muridnya dari kalangan atas. Para Pendeta memiliki kewenangan untuk membuat
undang-undang, karena dipercayai sebagai wakil Tuhan untuk membuat undang-undang
di muka bumi. Undang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang
berat, misalnya hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan
dokter dengan menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis
sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki profesi ini.
2. Mesir
pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga memiliki
hukum kesehatan. Konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana
penderita /pasien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh
masyarakat. Peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat
eksperimen. Tidak ada hukuman bagi dokter atas kegagalannya selama buku standar
diikuti. Profesi kedokteran masih di dominasi kaum kasta pendeta dan bau mistik
tetap saja mewarnai kedokteran
3. Sebenarnya
ilmu kedokteran sudah maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek
pembedahan sudah mulai dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang
sistem imbalan jasa dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah
Hukum Kesehatan berasal, bukan dari Mesir). Dalam Kode Hammurabi diatur
ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar hukumannya, mulai dari
hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan pula ketentuan yang
mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat kelalian dokter ketika
menangani budak tersebut.
Salah satu filosof yunani HIPPOCRATES
(bapak ilmu kedokteran modern) telah berhasil menyusun landasan bagi sumpah
dokter serta etika kedokteran, yaitu :
a. Adanya
pemikiran untuk melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek kedokteran yang
bersifat coba-coba.
b. Adanya
keharusan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan pasien serta
adanya larangan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikannya.
c. Adanya
penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan terhadap euthanasia dan
aborsi.
d. Menekankan
hubungan terapetik sebagai hubungan di mana dokter dilarang mengambil
keuntungan.
e. Adanya
keharusan memegang teguh rahasia kedokteran bagi setiap dokter.
4. Abad
20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi
profesi kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di
bidang kedokteran menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan
dikendalikan oleh perangkat hukum untuk mengontrol profesi kedokteran. Hukum
dan etika berfungsi sebagai alat untuk menilai perilaku manusia, obyek hukum
lebih menitik beratkan pada perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan hukum
adalah untuk kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum
bersifat memaksa, etika berupa pengucilan dari masyarakat.
0 komentar:
Post a Comment